28/12/2024

adminv1

MENGAWAL POTENSI PRODUKSI KLON KARET UNGGUL MELALUI PEMURNIAN KLON

Bahan tanam merupakan salah satu komponen teknologi yang berperan penting dalam upaya peningkatan produktivitas perkebunan karet. Kegiatan program pemuliaan tanaman karet menunjukkan bahwa penggunaan klon-klon karet unggul baru mampu meningkatkan produktivitas yang awalnya hanya sekitar 400 kg/ha pada bahan tanam asal seedling menjadi lebih dari 2500 kg/ha pada klon unggul terbaru. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan dengan terus menggali potensi genetik tanaman karet yang dapat mencapai 8000 kg/ha melalui kegiatan pemuliaan.

Produktivitas tanaman karet sering kali tidak sesuai dengan potensi genetik klon yang ditanam. Hal ini seringkali terjadi di perkebunan karet baik ditingkat perkebunan rakyat maupun perkebunan besar negara dan swasta. Salah satu penyebab tidak optimalnya produksi lateks tersebut adalah ketidakseragaman jenis klon yang digunakan sebagai bahan tanam di lapangan.  Beberapa faktor teknis yang dapat mempengaruhi terjadinya pencampuran klon pada proses penyiapan bahan tanam karet diantaranya adalah :

  • Pengambilan dan penggunaan kayu entres dari kebun entres yang tidak murni.
  • Distribusi kayu entres kepada juru okulasi pada saat penyiapan bibit.
  • Pencabutan stum dan pengangkutan dari lapangan ke terminal seleksi dan packing.
  • Pengambilan stum dari dalam peti untuk ditanam kedalam polibeg di lokasi yang baru
  • Pemindahan bibit polibeg dari terminal ke atas truk dan sebaliknya ketika menurunkan bibit polibeg dari atas truk ke lokasi kebun entres yang baru.

Penggunaan bahan tanam yang tercampur tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat dan tidak seragam yang berdampak terhadap waktu matang sadap serta produksi yang tidak sesuai dengan prediksi. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut dan dalam upaya peningkatan dan pengoptimalan produktivitas perkebunan karet serta membantu mengawal tercapainya potensi produksi klon-klon karet unggul, Pusat Penelitian Karet telah menghasilkan teknologi pemurnian klon baik berdasarkan karakter morfologi maupun DNA fingerprinting. Pemurnian dapat dilakukan pada berbagai tahap yaitu pengecekan setiap pohon entres yang akan digunakan, pengecekan bibit hasil okulasi dan pengecekan setiap pohon TBM/TM yang telah ditanam di lapang. 

Beberapa karakter morfologi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam identifikasi klon pada program pemurniaan tanaman muda adalah bentuk, ukuran dan warna daun serta batang, bentuk dan posisi mata entres, serta bentuk dan jarak antar payung daun. Pada tanaman dewasa identifikasi klon dapat dilakukan dengan memperhatikan tipe tajuk, bentuk daun, tipe percabangan, bentuk dan warna batang serta bentuk, ukuran dan warna biji yang dihasilkan tanaman. Gambar 1 menunjukkan contoh beberapa karakter morfologi yang digunakan dalam identifikasi klon karet.

Gambar 1. Perbedaan beberapa karakter morfologi klon-klon karet

Pengaruh faktor lingkungan seringkali menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak optimal sehingga ciri-ciri karakter morfologi yang diharapkan tidak muncul dengan sempurna. Selain itu ketersediaan tenaga ahli yang mampu mebedakan klon secara morfologi juga menjadi salah satu faktor pembatas dalam proses identifikasi klon berdasarkan karakter morfologi. Dengan memanfaatkan kemajuan ilmu biologi molekuler, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan teknologi DNA fingerprinting. Prinsip dasar dari teknologi DNA fingerprinting adalah melihat perbedaan alel dari berbagai gen/lokus genom masing-masing klon karet yang terlihat dari perbedaan pola pita DNA seperti yang terlihat pada ilustrasi Gambar 2.  Melalui teknologi DNA fingerprinting, pemurnian klon karet dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat sehingga potensi produksi klon dapat tercapai.

Gambar 2. Perbedaan pola DNA fingerprinting klon-klon karet

(Fetrina Oktavia – Kelti Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman)

Dinamika Iklim Dan Produksi Karet

Tanaman karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting di Indonesia. Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan (2018)  memperlihatkan bahwa ekspor karet Indonesia tahun 2017 sebesar 2,99 juta ton dengan nilai sebesar 5,10 Miliar US$. 

Faktor iklim berpengaruh terhadap perkembangan tanaman karet terutama pada produksi. Curah hujan minimum bagi tanaman karet adalah 1.500 mm/tahun dengan distribusi merata (Dijkman, 1951 dan William et al., 1980).  Secara umum tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada kisaran curah hujan 1.500-3.000 mm/tahun dengan distribusi merata. Besarnya evapotranspirasi atau kebutuhan air tanaman karet adalah setara dengan evaporasi yang diukur dengan panci  klas A atau 3 – 5 mm per hari untuk kondisi di Indonesia (Haridas, 1985).  Curah hujan 100-150 mm akan dapat mencukupi kebutuhan air tanaman karet selama 1 bulan (Rao dan Vijayakumar, 1992). Pada saat musim kemarau, ketersediaan air berkurang sehingga air menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Hal ini terutama terjadi pada pertanaman karet yang pengaturan jarak tanamnya terlalu rapat, sehingga terjadi kompetisi antar tanaman karet dalam mengkonsumsi air dari tanah. Kramer (1983) menyatakan bahwa pengaruh yang langsung akibat kekurangan air berkepanjangan adalah berkurangnya laju pertumbuhan sehingga ukuran tanaman dan produksi lebih rendah dibandingkan tanaman normal.

Curah hujan adalah salah satu faktor dalam ketersediaan air bagi tanaman karet yang berpengaruh terhadap metabolisme tanaman dan produksi. Kondisi agroklimat dan produksi karet di Pusat Penelitian Karet selama 5 tahun (2014 – 2019) terlihat pada Gambar 1. Musim hujan dimulai pada bulan November hingga Mei dan musim kemarau pada bulan Juni hingga Oktober. Curah hujan terendah selama 5 tahun terjadi pada bulan Oktober 2015 yang hanya sebesar 0.6 mm dengan produksi karet sebesar 938 kg/ha. Pada tahun 2018 dan 2019 curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan September sebesar 2,6 dan 7,5 mm dengan produksi karet sebesar 791 dan 520 kg/ha. Curah hujan sangat berpengaruh cukup signifikan terhadap produksi tanaman.  

Gambar 1. Pengaruh curah hujan dan produksi karet selama 5 tahun.

Pada gambar 2 terlihat hubungan antara kandungan air tanah, defisit air dan produksi karet selama 5 tahun. Defisit air tertinggi tejadi pada bulan Oktober 2015 sebesar 76,59 mm dengan kondisi kandungan air tanah sebesar 120,26 mm. Produksi karet yang tertinggi pada bulan April 2017 terjadi pada saat kondisi tanah tidak mengalami defisit air. Kekurangan air akan berdampak pada keseimbangan kimiawi dalam tanaman sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil fotosintesis atau semua prosesproses fisiologis berjalan tidak normal. Selain itu juga berakibat pada tanaman menjadi kerdil, produksi rendah dan kualitas turun (Craft et al, 1949; Kramer, 1969).


Gambar 2. Pengaruh kandungan air tanah, defisit air dan produksi karet selama 5 tahun.

Kesimpulan akhir yaitu tanaman karet mempunyai daya adaptasi yang luas dan dapat tumbuh pada beberapa kondisi tanah dan iklim, tetapi pertumbuhannya akan lebih optimal apabila tanaman ini dibudidayakan pada daerah yang mempunyai tanah dan iklim yang sesuai.

(Risal Ardika - Kelti Tanah dan Pemupukan Pusat Penelitian Karet)


Model Tumpangsari Karet

Penurunan harga karet menjadi masalah serius bagi kondisi ekonomi rumah tangga petani karet, antara lain: 1) pendapatan petani per bulan menurun, 2) daya beli petani menurun, 3) kemampuan investasi  petani menurun, 4) petani menghentikan usahatani karet dan beralih profesi, dan 5) mengkonversi karet ke komoditas lain yang  lebih  prospektif. 

Model tumpangsari karet secara partisipatif dengan tanaman ekonomis lainnya secara berkelanjutan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh petani agar dapat bertahan dalam kondisi harga karet rendah saat ini. Model tumpangsari karet secara partisipatif merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usahatani karet rakyat melalui inisiasi dan partisipasi petani serta layak secara finansial. Model ini dapat meningkatkan pendapatan petani, produktivitas lahan dan dan produktivitas karet. 

Kendala teknis pengembangan model ini adalah naungan tajuk tanaman karet sehingga tidak dapat berkelanjutan dan produktivitas tanaman sela menurun. Diperlukan modifikasi jarak tanam karet melalui jarak tanam ganda sehingga dapat mengembangkan model ini dalam jangka panjang. Kendala sosial dan ekonomi dapat diatasi melalui model tumpangsari karet partisipatif dan didukung oleh kebijakan pemerintah dan kelembagaan partisipatif yang kuat. Tantangan pengembangan model ini pada skala yang lebih luas antara lain: sikap mental ketergantungan petani pada bantuan pemerintah; lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan nonpemerintah; dan tidak terjaminnya kontinuitas anggaran merupakan tantangan yang dapat mengganggu upaya mobilisasi partisipasi petani dan masyarakat untuk menjalankan program secara komprehensif. Selain itu, tantangan yang harus dihadapi untuk memperlancar pelaksanaan program model ini antara lain meningkatkan peran pemerintah, penyuluh, menyederhanakan birokrasi administrasi, dan mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan eksekutif dan legislatif  di daerah secara menyeluruh dan konsisten yang didukung oleh lembaga penelitian, penyuluh pertanian, dan lembaga keuangan daerah. 

Perspektif kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendukung dan penyangga harga karet dan tanaman ekonomis lainnya di tingkat usahatani melalui penguatan kelembagaan ekonomi seperti lembaga pengolahan hasil, penyimpanan, dan pemasaran. Diperlukan juga dukungan bimbingan teknis dan pendampingan manajemen model usahatani ini untuk mempercepat adopsi teknologi. Secara sosial diperlukan diseminasi teknologi untuk mengetahui tingkat adaptasi teknologi di tingkat petani sehingga mempermudah petani dalam melaksanakan sistem usahataninya.

Pola Tumpangsari Karet Dengan Ternak dan Tanaman Ekonomis Lainnya Melalui Modifikasi Jarak Tanam Karet Untuk Tumpang Sari Jangka Panjang

Konsep Replanting Model Tumpangsari Karet Melalui Modifikasi Jarak Tanam Karet Untuk Tumpang Sari Jangka Panjang

Keterangan : Populasi Tanaman Karet 435 pohon / ha

(Sahuri – Kelti Agronomi Pusat Penelitian Karet)


Teknologi Aspal Karet

Sejak akhir 2011 hingga saat ini harga komoditas karet alam anjlok di pasar global. Harga karet hanya mampu bergerak pada kisaran USD 1 – 1,5 per kg karet kering. Pemerintah berinisiatif meningkatkan konsumsi karet alam domestik dengan target 100 ribu ton per tahun melalui penerapan teknologi aspal karet untuk mendukung pembangunan infrastruktur transportasi. 

Teknologi aspal karet berdasarkan jenis bahan bakunya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:

  1. Aspal karet berbasis lateks (lateks pravulkanisasi)
  2. Aspal karet berbasis karet padat (kompon karet padat)
  3. Aspal karet berbasis serbuk karet (campuran kompon karet padat dan serbuk ban bekas) 

PENGUJIAN TEKNOLOGI

Penelitian dan uji gelar aspal karet telah dilaksanakan sejak akhir tahun 2016 oleh Pusat Penelitian Karet (PPK) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. Melalui pendanaan program ‘Insentif Inovasi Teknologi yang Dimanfaatkan di Industri’ dari Kementerian Ristekdikti tahun 2017 dan 2018 telah dibangun pengembangan fasilitas pengolahan lateks pravulkansasi sebagai aditif aspal hingga skala pilot project. Dukungan lain juga datang dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2017 dengan memberikan hibah berupa mesin pengolahan aditif aspal berbasis karet padat (kompon/ masterbatch dan Serbuk Karet Alam Teraktivasi/SKAT). 

Aspal karet berbasis lateks (lateks pravulkanisasi)

Teknologi aspal karet yang paling siap untuk dikembangkan adalah aspal karet berbasis lateks pravulkanisasi. Lateks pravulkanisasi merupakan lateks pekat yang telah diolah secara kimiawi sehingga lebih tahan panas dan oksidasi. Aspal karet dengan penambahan lateks pravulkanisasi relatif lebih cepat dan mudah diproses. Aspal karet berbasis lateks pravulkanisasi telah diujicoba di Kawasan Danau Lido Bogor pada tahun 2016 sepanjang 2 km.  Teknologi ini sudah diterapkan oleh Direktorat Jenderal Binamarga Kementerian PUPR di Jalan Nasional Lintas Tengah Sumatera di Kabupaten Empat Lawang, Sumatra Selatan sepanjang 4,3 mm pada tahun 2018. Hasil analisis laboratorium maupun lapangan menunjukkan bahwa aspal karet berbasis lateks pravulkanisasi memiliki ketahanan terhadap kedalaman alur yang lebih baik, ketahanan terhadap retak dan stabilitas yang lebih baik. Konsumsi karet yang digunakan sebanyak 2-3 ton per km jalan. Kesiapan penerapan aspal karet berbasis lateks pravulkanisasi juga dinilai karena adanya dukungan dari pihak industri. Di Indonesia, terdapat lebih dari 2 industri besar yang memiliki fasilitas mixer aspal karet.

Aspal karet berbasis karet padat (kompon karet padat)

Teknologi ini pada prinsipnya sama dengan aspal karet berbasis lateks yaitu dengan melarutkan karet ke dalam aspal namun berbeda jenis bahan bakunya. Karet dibuat dalam bentuk kompon terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pelarutan kompon karet ke dalam aspal. Bahan baku yang digunakan dalam teknologi ini adalah karet padat jenis brown crepe/RSS/SIR 20. Brown crepe dan RSS dapat dibuat di tingkat petani karet dengan memanfaatkan bokar rakyat yang telah dibersihkan, digiling, dan dikeringkan. Seperti halnya dengan memproduksi lateks pekat, insentif tambahan juga akan diperoleh petani jika dapat memproduksi brown crepe. Teknologi aspal karet berbasis karet padat telah diujicoba pada tahun 2017 di Jalan Raya Ciputat – Parung sepanjang 600 m. Penerapan teknologi ini masih menunggu kesiapan pabrik aspal karet karena membutuhkan peralatan yang lebih banyak daripada aspal karet berbasis lateks.  

Aspal karet berbasis serbuk karet (campuran kompon karet padat dan serbuk ban bekas) 

Jenis bahan aditif lain yang dapat ditambahkan dalam pembuatan aspal karet adalah Serbuk Karet Alam Teraktivasi (SKAT). SKAT merupakan campuran karet alam segar jenis mutu brown crepe/RSS/SIR 20 dengan serbuk karet yang berasal dari limbah ban bekas serta bahan kimia aditif. Aplikasi SKAT dengan cara dicampurkan dengan batuan agregat dan aspal ketika pembuatan hotmix di AMP (Asphalt Mixing Plant). Industri pembuatan serbuk ban sebagai bahan baku SKAT ini masih terbatas dan berlokasi di pulau Jawa sehingga penerapan teknologi masih pada skala yang terbatas. Teknologi aspal karet berbasis serbuk karet telah diujicoba pada tahun 2017 di Jalan Pantura di Kawasan Karawang sepanjang 500 m.

POTENSI PENYERAPAN KARET DAN PENDAPATAN PETANI

Mengacu pada kajian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Karet, teknologi aspal karet berpotensi menyerap karet alam sebanyak 80 ribu hingga 112 ribu karet alam per tahun dengan asumsi dosis karet alam sebesar 5-7% terhadap konsumsi aspal dalam negeri yaitu sekitar 1,6 juta ton per tahun. 

Saat ini bahan baku lateks pekat untuk pengolahan lateks pravulkanisasi masih dipasok dari Perkebunan Besar Negara (BUMN Perkebunan) dan swasta. Untuk mendapatkan pasokan lateks dari petani karet diperlukan perubahan budaya mereka dalam mengolah hasil panen kebunnya dari berbentuk karet gumpalan menjadi lateks kebun dengan cara segera menambahkan bahan pengawet ke dalam lateks hasil panen kemudian memekatkannya dengan cara pendadihan maupun dengan mesin. 

Pendapatan petani karet juga jauh lebih baik jika dapat memproduksi lateks pekat. Sebagai ilustrasi sederhana, karet gumpalan berkadar 60% karet berharga IDR 6.000 – 7.000 per kg basah, sedangkan lateks pekat pada kadar yang sama yaitu 60% dapat dihargai sebesar IDR 12.000 – 14.000 per kg basah. Faktor yang tidak kalah penting adalah adanya jaminan pasar atau pembeli atas produksi lateks pekat petani karet. Lebih lanjut teknologi ini oleh PPK, Pemda Musi Banyuasin, Sumsel dan PT. Jaya Trade Indonesia telah bekerjasama dan akan menerapkannya dalam proyek pengaspalan jalan aspal karet di Kabupaten Musi Banyuasin

Dari segi harga, meskipun dijual pada level lebih tinggi 20-30%, namun berdasarkan studi skala laboratorium aspal karet diprediksi mampu memberikan umur layanan yang 1,5 hingga 2 kali lebih panjang dibandingkan dengan aspal konvensional. Dengan demikian, penggunaan aspal karet justru akan menghemat biaya pemeliharaan dan perbaikan jalan yang seringkali sama mahalnya dengan biaya pembuatan jalan baru. 

Tumbuhnya industri aspal karet yang memanfaatkan karet rakyat tentu sangat bergantung pada goodwill dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dikeluarkan. Standar aspal karet telah diterbitkan oleh Kementerian PUPR, dan Surat Edaran bagi Pemerintah Daerah di Jawa, Sumatera dan Kalimantan tentang Penerapan Aspal Karet telah diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Adanya kepastian dalam implementasi aspal karet ke dalam program infrastruktur jalan pada skala nasional akan mendorong peningkatan konsumsi karet dalam negeri. Pusat Penelitian Karet beserta industri aspal swasta siap bersama-sama mendukung dengan terjun ke dalam bisnis aspal karet dalam volume yang lebih besar lagi. 

Henry Prastanto, ST, M.Eng – Peneliti Teknologi Pasca Panen – Balai Penelitian Teknologi Karet, Pusat Penelitian Karet