02/04/2025

adminv1

Penghargaan

Penghargaan

Pusat Penelitian Karet ditetapkan sebagai Pusat Unggulan IPTEK pada Tahun 2020

Sertifikat KNAPPP
Sertifikat Akreditasi KNAPP

Sertifikat Hak Perlindungan Varietas Tanaman IRR 220
Sertifikat Hak Perlindungan Varietas Tanaman IRR 220

Sertifikat Hak Perlindungan Varietas Tanaman IRR 230
Sertifikat Hak Perlindungan Varietas Tanaman IRR 230

MENGAWAL POTENSI PRODUKSI KLON KARET UNGGUL MELALUI PEMURNIAN KLON

Bahan tanam merupakan salah satu komponen teknologi yang berperan penting dalam upaya peningkatan produktivitas perkebunan karet. Kegiatan program pemuliaan tanaman karet menunjukkan bahwa penggunaan klon-klon karet unggul baru mampu meningkatkan produktivitas yang awalnya hanya sekitar 400 kg/ha pada bahan tanam asal seedling menjadi lebih dari 2500 kg/ha pada klon unggul terbaru. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan dengan terus menggali potensi genetik tanaman karet yang dapat mencapai 8000 kg/ha melalui kegiatan pemuliaan.

Produktivitas tanaman karet sering kali tidak sesuai dengan potensi genetik klon yang ditanam. Hal ini seringkali terjadi di perkebunan karet baik ditingkat perkebunan rakyat maupun perkebunan besar negara dan swasta. Salah satu penyebab tidak optimalnya produksi lateks tersebut adalah ketidakseragaman jenis klon yang digunakan sebagai bahan tanam di lapangan.  Beberapa faktor teknis yang dapat mempengaruhi terjadinya pencampuran klon pada proses penyiapan bahan tanam karet diantaranya adalah :

  • Pengambilan dan penggunaan kayu entres dari kebun entres yang tidak murni.
  • Distribusi kayu entres kepada juru okulasi pada saat penyiapan bibit.
  • Pencabutan stum dan pengangkutan dari lapangan ke terminal seleksi dan packing.
  • Pengambilan stum dari dalam peti untuk ditanam kedalam polibeg di lokasi yang baru
  • Pemindahan bibit polibeg dari terminal ke atas truk dan sebaliknya ketika menurunkan bibit polibeg dari atas truk ke lokasi kebun entres yang baru.

Penggunaan bahan tanam yang tercampur tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat dan tidak seragam yang berdampak terhadap waktu matang sadap serta produksi yang tidak sesuai dengan prediksi. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut dan dalam upaya peningkatan dan pengoptimalan produktivitas perkebunan karet serta membantu mengawal tercapainya potensi produksi klon-klon karet unggul, Pusat Penelitian Karet telah menghasilkan teknologi pemurnian klon baik berdasarkan karakter morfologi maupun DNA fingerprinting. Pemurnian dapat dilakukan pada berbagai tahap yaitu pengecekan setiap pohon entres yang akan digunakan, pengecekan bibit hasil okulasi dan pengecekan setiap pohon TBM/TM yang telah ditanam di lapang. 

Beberapa karakter morfologi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam identifikasi klon pada program pemurniaan tanaman muda adalah bentuk, ukuran dan warna daun serta batang, bentuk dan posisi mata entres, serta bentuk dan jarak antar payung daun. Pada tanaman dewasa identifikasi klon dapat dilakukan dengan memperhatikan tipe tajuk, bentuk daun, tipe percabangan, bentuk dan warna batang serta bentuk, ukuran dan warna biji yang dihasilkan tanaman. Gambar 1 menunjukkan contoh beberapa karakter morfologi yang digunakan dalam identifikasi klon karet.

Gambar 1. Perbedaan beberapa karakter morfologi klon-klon karet

Pengaruh faktor lingkungan seringkali menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak optimal sehingga ciri-ciri karakter morfologi yang diharapkan tidak muncul dengan sempurna. Selain itu ketersediaan tenaga ahli yang mampu mebedakan klon secara morfologi juga menjadi salah satu faktor pembatas dalam proses identifikasi klon berdasarkan karakter morfologi. Dengan memanfaatkan kemajuan ilmu biologi molekuler, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan teknologi DNA fingerprinting. Prinsip dasar dari teknologi DNA fingerprinting adalah melihat perbedaan alel dari berbagai gen/lokus genom masing-masing klon karet yang terlihat dari perbedaan pola pita DNA seperti yang terlihat pada ilustrasi Gambar 2.  Melalui teknologi DNA fingerprinting, pemurnian klon karet dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat sehingga potensi produksi klon dapat tercapai.

Gambar 2. Perbedaan pola DNA fingerprinting klon-klon karet

(Fetrina Oktavia – Kelti Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman)

Dinamika Iklim Dan Produksi Karet

Tanaman karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting di Indonesia. Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan (2018)  memperlihatkan bahwa ekspor karet Indonesia tahun 2017 sebesar 2,99 juta ton dengan nilai sebesar 5,10 Miliar US$. 

Faktor iklim berpengaruh terhadap perkembangan tanaman karet terutama pada produksi. Curah hujan minimum bagi tanaman karet adalah 1.500 mm/tahun dengan distribusi merata (Dijkman, 1951 dan William et al., 1980).  Secara umum tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada kisaran curah hujan 1.500-3.000 mm/tahun dengan distribusi merata. Besarnya evapotranspirasi atau kebutuhan air tanaman karet adalah setara dengan evaporasi yang diukur dengan panci  klas A atau 3 – 5 mm per hari untuk kondisi di Indonesia (Haridas, 1985).  Curah hujan 100-150 mm akan dapat mencukupi kebutuhan air tanaman karet selama 1 bulan (Rao dan Vijayakumar, 1992). Pada saat musim kemarau, ketersediaan air berkurang sehingga air menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Hal ini terutama terjadi pada pertanaman karet yang pengaturan jarak tanamnya terlalu rapat, sehingga terjadi kompetisi antar tanaman karet dalam mengkonsumsi air dari tanah. Kramer (1983) menyatakan bahwa pengaruh yang langsung akibat kekurangan air berkepanjangan adalah berkurangnya laju pertumbuhan sehingga ukuran tanaman dan produksi lebih rendah dibandingkan tanaman normal.

Curah hujan adalah salah satu faktor dalam ketersediaan air bagi tanaman karet yang berpengaruh terhadap metabolisme tanaman dan produksi. Kondisi agroklimat dan produksi karet di Pusat Penelitian Karet selama 5 tahun (2014 – 2019) terlihat pada Gambar 1. Musim hujan dimulai pada bulan November hingga Mei dan musim kemarau pada bulan Juni hingga Oktober. Curah hujan terendah selama 5 tahun terjadi pada bulan Oktober 2015 yang hanya sebesar 0.6 mm dengan produksi karet sebesar 938 kg/ha. Pada tahun 2018 dan 2019 curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dan September sebesar 2,6 dan 7,5 mm dengan produksi karet sebesar 791 dan 520 kg/ha. Curah hujan sangat berpengaruh cukup signifikan terhadap produksi tanaman.  

Gambar 1. Pengaruh curah hujan dan produksi karet selama 5 tahun.

Pada gambar 2 terlihat hubungan antara kandungan air tanah, defisit air dan produksi karet selama 5 tahun. Defisit air tertinggi tejadi pada bulan Oktober 2015 sebesar 76,59 mm dengan kondisi kandungan air tanah sebesar 120,26 mm. Produksi karet yang tertinggi pada bulan April 2017 terjadi pada saat kondisi tanah tidak mengalami defisit air. Kekurangan air akan berdampak pada keseimbangan kimiawi dalam tanaman sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil fotosintesis atau semua prosesproses fisiologis berjalan tidak normal. Selain itu juga berakibat pada tanaman menjadi kerdil, produksi rendah dan kualitas turun (Craft et al, 1949; Kramer, 1969).


Gambar 2. Pengaruh kandungan air tanah, defisit air dan produksi karet selama 5 tahun.

Kesimpulan akhir yaitu tanaman karet mempunyai daya adaptasi yang luas dan dapat tumbuh pada beberapa kondisi tanah dan iklim, tetapi pertumbuhannya akan lebih optimal apabila tanaman ini dibudidayakan pada daerah yang mempunyai tanah dan iklim yang sesuai.

(Risal Ardika - Kelti Tanah dan Pemupukan Pusat Penelitian Karet)